disusun oleh Hendra Deni Saputra Naibaho - FE Unika Santo Thomas SU Medan
A.
AWAL
KRISIS EKONOMI (Lebih Besar Pasak Dari
Pada Tiang)
1.
Gejolak
Kurs Mengungkap Persoalan
Gejolak nilai tukar
rupiah sejak bulan Juli 1997 sepatutnya kian membuka mata hati kita terhadap
berbagai persoalan mendasar yang menghadang Indonesia sejak sekian tahun
sebelumnya.
Presiden Soeharto dalam
pidatonya di dalam DPR 16 Agustus 1997 mengatakan “guncangan-guncangan yang
melanda mata uang berbagai negara dikawasan Asia Tenggara akhir-akhir ini
adalah wujud nyata dari pengaruh negatif perekonomian terbuka” selanjutnya, pada
bagian lain pidato presiden menekankan ”Kita melihat bahwa kurs mata uang
apapun dapat berubah cepat. Kenyataan ini tidak dapat dihindari negara apapun
itu, oleh pelaku ekonomi apapun”.
Di sejumlah Negara Asia
Tenggara terutama Indonesia dan kecuali Singapura sejak awal pembangunannya
hingga sekarang, masih saja mengekalkan diri sebagai perekonomian yang ”lebih
besar pasak daripada tiang“, konsumsi bangsa-bangsa di Asia Tenggara lebih
tinggi dari pada kemampuan produksinya. Impor barang dan jasa lebih besar
daripada ekspor ekspor barang dan jasa.
Kebanyakan negara
berkembang, termasuk Indonesia tampaknya masih menganggap remeh kondisi
kesenjangan ini. Alasanya kesenjangan atau defisit transaksi berjalan bias ditutup dengan arus
modal masuk (capital inflow) dalam
bentuk pinjaman luar negeri dan Penanaman Modal Asing (PMA). Artinya
perekonomian Indonesia “lebih basar pasak dari pada tiang”.
Selama lebih dari 30
tahun, rezim orde baru menitikberatkan pada bidang ekonomi dengan penekanan
ekstra pada basaran makro ekonomi, mengapa pinjaman luar negeri belum juga
mampu membuat terbebas dari kondisi
lebih besar pasak dari pada tiang?
Jika kita mendambakan
kurs yang stabil, maka landasan penopang yang paling hakiki adalah kemampuan
perekonomian yang terus meningkat untuk membiayai dirinya sendiri dan mampu
memproduksi lebih besar dari pada mengkomsumsi. Keadaan inilah yang menjamin
landasan kokoh bagi perekonomian untuk terus tumbuh dan berkembang sehat selalu.
2.
Mengungkap
pokok permasalahan
Sektor
moneter tidak pernah, dan tidak akan pernah lepas kaitannya dengan sektor real,
karena bagaimanapun keberadaan sektor moneter dengan segala perangkat kebijakan
dan berbagai lembaga keuangan yang menopangnya tidak bisa berdiri sendiri. Jika
dalam kenyataannya memang kedua sektor itu telah mengalami lepas kaitan, maka
umat manusia tinggal menunggu kehancuran peradaban atau paling tidak
terjebak hidup dalam kegemerlapan
artificial dengan segala konsekuensinya. Maka dari itu, jika umat manusia ingin
terhindar dari malapetaka yang maha dahsyat itu, maka mau tidak mau kita sudah
mulai harus sungguh-sungguh mengupayakan suatu tatanan baru yang kembali
menempatkan sektor finansial pada fungsi hakikatnya.
Pemikiran
Mahathir adalah suatu tawaran kepada masyarakat dunia untuk benar-benar
menciptakan tatanan ekonomi yang lebih sehat, tentu saja gagasan bagi terbentuknya
tatanan baru itu butuh waktu dan memerlukan pengkajian yang seksama. Yang
paling penting adalah kesadaran akan rapuhnya sistem yang berlaku sekarang dan
kita bertekad untuk mencari sistem alternatif.
Barangkali,
banyak menganggap pemikiran di atas sangat radikal. Namun yang disampaikan
tidak lebih dari tawaran melihat permasalahan lebih keakarnya dengan persektif
penegakan harkat dan martabat umat manusia. Pemikiran yang ”radikal”. Kita
tidak perlu berpretensi bahwa segalanya
akan berubah drastis. Paling tidak kalau kita sepakat dengan cara pandang yang
ditawarkan, kita akan lebih memiliki pegangan dalam mengarungi masa depan.
Paling
tidak, sektor real yang sehat dapat meredam gejolak financial dan perilaku
tidak produktif atau artificial, dengan begitu kebijakan moneter dan keberadaan
pemerintah bisa diarahkan dengan lebih efektif untuk meredam fluktuasi tajam
didalam perekonomian. Pemerintahan bisa lebih menitikberatkan pada pungsi
monitoring yang efektif atas arus financial yang masuk dan keluar, sehingga
pada akhirnya mengurangi tindakan coba-coba. Apapun yang dilakukan sepatutnya
mengacu pada prinsip bagi kesejahteraan rakyak dan keadilan. Kita berbenah
bukannya sekedar untuk menghadapi era globalisasi atau AFTA tahun 2002. Kita melakukan privatisasi dengan menjual saham
BUMN bukan dalam rangka mencari dana untuk membayar utang, tetapi seharusnya
untuk membuat BUMN itu lebih efisien, kedaulatan rakyat harus ditegakkan.
B.
PENDALAMAN KRISIS ,KEGAGALAN
PEMERINTAH MEMAHAMI SINYAL
1. Keterlibatan IMF
Keberadaan IMF yang
disertai oleh tim bank dunia dan bank pembangunan Asia semakin memperkuat
konstalasi ini. IMF akan mengevaluasi usulan pemerintah. Boleh jadi, IMF
memandang usulan pemerintah belum memadai, lalu menyarankan langkah-langkah
tambahan agar pemulihan ekonomi bisa lebih terjamin, khususnya pemulihan
kepercayaan investor asing.
Pemerintah Indonesia
sepatutnya memanfaatkan momentum yang terbuka luas ini untuk melakukan
pembenahan mendasar, tidak setengah hati lagi seperti dimasa-masa lalu. Harga
yang harus dibayar memang sangat mahal. Juga sekaligus bisa dijadikan momentum
bagi terjadinya seleksi alamiah untuk menghasilkan pengusaha-pengusaha yang
tangguh dan teruji yang mampu keluar dari kemelut.
Ditengah tersendatnya
perundingan pemberian bantuan program yang bersifat perundingan pemberian
bantuan program yang bersifat formal (program
and formal assistance) dari IMF, Indonesia dibanjiri oleh komitmen bantuan
dana dari negara-negara tetangga. Keterlibatan negara sahabat bukan substitusi
dari paket bantuan IMF. Antusiasme negara-negara tetangga membantu Indonesia
patut disambut tanpa prasangka negatif.
2.
Rezim
Sentralistik Menumpulkan Upaya Penyelesaian
Pelajaran
yang bisa ditarik dari krisis ekonomi dewasa ini sangatlah jelas sebagai berikut:
1. perlu
pembenahan manejemen pembangunan dan pemerintahan. Misalnya, kerapuan stuktur
pembayaran Indonesia hanya difokuskan pada satu sisi permasalahan sebagaimana
tercermin dari dibentuknya Tim Peningkatan Ekspor (TPE).
2. yang
tidak kalah berharganya adalah reformasi adalah system pengambilan keputusan. Persoalan
ini, tentu saja berkaitan erat dengan menejemen pembangunan dan pemerintahan. Penanganan
krisis nilai tukar rupiah menjadi salah satu indikasi betapa mendesatnya
pembenahan proses pengambilan keputusan.
3. diperlukan
pengembangan kelembagaan yang menopang peningkatan dinamika perekonomian yang
semakin sehat sehinnga bisa menekan transaksi (transaction cost). Keberhasilan
menekan biaya transaksi akan memperkokoh keunggulan komparatif bangsa, yang
paling gilirannya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
3.
Krisis
Moneter Menjadi Krisis Multidimensional
Keselurahan aspek
diatas bertemu pada saat yang bersamaan tatkala sistem politik pun sudah hampir
menuju kebangkrutan. Hampir semua pihak sepakat bahwa persoalan bukan
semata-mata krisis ekonomi, tetapi sudah bercampur dengan krisis politik. Agenda perubahan harus
dibentang dengan kendali harus pada rakyak itu sendiri. Maka, reformasi harus
diawali dengan penghapusan segala praktik yang membelenggu rakyak sehingga
mereka tidak bisa menguatkan potensi yang ada pada genggaman mereka.
IMF sangat
mengetahuinya bahwa sejauh ini Indonesia tidak memiliki undang-undang yang
mengatur monopoli, oligopoli, praktik kartel ,dan kolusi, serta yang menjamin
persaingan atau perdagangan sehat, betapa teganya IMF menjerembabkan Indonesia
kealam persaingan liar yang tidak mengenal lagi perbedaan.
Tetapi, IMF tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena pada
akhirnya semua bergantung pada kita untuk mengimbangi liberalisasi total dengan
serangkaian langkah penciptaan jaring-jaring pengaman.
Masih banyak lagi
tindakan-tindakan pemerintah yang akrobatik, bahkan tatkala perundingan sedang
berlangsung, yang membuat bukan saja IMF tetapi juga masyarakat semakin
kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Cara penanganan pemerintah yang
semrawut selama ini telah mengakibatkan beban biaya yang teramat mahal. Indikator
yang paling nyata adalah target pertumbuhan yang semakin merosot. Setelah
perundingan pertama dengan IMF Oktober 1997, pemerintah menargetkan pertumbuhan
ekonomi pasar sebesar 4% tatkala presiden
menyampaikan rancangan APBN 1998/1999 awal januari 1998. Karena
pemerintah melanggar kesepakatan, maka IMF mengoreksinya menjadi 0%, sebagaimana
tertuang didalam letter of intent 15 Januari
1998.
Bentuk monopoli pada
umumnya dibanyak negara diberi toleransi adalah monopoli alamiah (natural
monopoly) bentuk monopoli demikian tejadi pada usaha infrastuktur seperti
listrik, air bersih, dan telepon. Monopoli alimiah muncul sebagai konsikuensi
dari tuntutan skala produksi yang amat besar untuk mencapai biaya produksi
rata-rata yang serendah-serendahnya. Kekuatan monopoli juga akan terkikis
sejalan dengan liberisasi perdagangan, karena itu harus berhadapan dengan
pesaing-pesaing luar negeri.
Hancurnya kredibilitas
pemerintah beriringan dengan memburuknya serba ketidakpastian, menyebabkan
terkikisnya kepercayaan (trust). Yang kemudian terjadi, tidak hanya pudarnya
kepercayaan masyakarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya melainkan juga antara
kalangan luar negeri dengan pemerintah serta diantara sesama kelompok
masyarakat.
Penanganan krisis yang
serba tidak jelas dan keengganan mengakui dari sumber persoalan sebagai akibat
semakin koroposnya rezim otoriter birokratis orde baru yang menghasilkan Soeharto Style State Assited Capitalism membuat
momentum bagi pemulihan ekonomin nyaris sirna. Sebagai suatu bangsa seharusnya
kita malu dengan penegasan IMF yang terus memperketat pengawasan atas
pelaksanaan reformasi yang telah disepakati bersama.
1 komentar:
terima kasih,sangat membantu saya dalam mengerjakan tugas
Posting Komentar