Sepenggal cerita, sedikit kisah, apa yang kulihat, yang semua tak terbendung hanya sampai di otak --- Selamat datang di blog pribadi Hendra Deni Saputra Naibaho

article terbaru

Kamis, 24 Mei 2012

Makalah Ekonomi: Indonesia Menghadapi Krisis, Tantangan Ekonomi Globalisasi, Perbankan, dan Dunia Usaha

disusun oleh Hendra Deni Saputra Naibaho - FE Unika Santo Thomas SU Medan
 
A.      AWAL KRISIS EKONOMI (Lebih Besar Pasak Dari Pada Tiang)

1.             Gejolak Kurs Mengungkap Persoalan
Gejolak nilai tukar rupiah sejak bulan Juli 1997 sepatutnya kian membuka mata hati kita terhadap berbagai persoalan mendasar yang menghadang Indonesia sejak sekian tahun sebelumnya.
Presiden Soeharto dalam pidatonya di dalam DPR 16 Agustus 1997 mengatakan “guncangan-guncangan yang melanda mata uang berbagai negara dikawasan Asia Tenggara akhir-akhir ini adalah wujud nyata dari pengaruh negatif perekonomian terbuka” selanjutnya, pada bagian lain pidato presiden menekankan ”Kita melihat bahwa kurs mata uang apapun dapat berubah cepat. Kenyataan ini tidak dapat dihindari negara apapun itu, oleh pelaku ekonomi apapun”.
Di sejumlah Negara Asia Tenggara terutama Indonesia dan kecuali Singapura sejak awal pembangunannya hingga sekarang, masih saja mengekalkan diri sebagai perekonomian yang ”lebih besar pasak daripada tiang“, konsumsi bangsa-bangsa di Asia Tenggara lebih tinggi dari pada kemampuan produksinya. Impor barang dan jasa lebih besar daripada ekspor ekspor barang dan jasa.
Kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia tampaknya masih menganggap remeh kondisi kesenjangan ini. Alasanya kesenjangan atau defisit  transaksi berjalan bias ditutup dengan arus modal masuk (capital inflow) dalam bentuk pinjaman luar negeri dan Penanaman Modal Asing (PMA). Artinya perekonomian Indonesia “lebih basar pasak dari pada tiang”.
Selama lebih dari 30 tahun, rezim orde baru menitikberatkan pada bidang ekonomi dengan penekanan ekstra pada basaran makro ekonomi, mengapa pinjaman luar negeri belum juga mampu membuat terbebas dari kondisi  lebih besar pasak dari pada tiang?
Jika kita mendambakan kurs yang stabil, maka landasan penopang yang paling hakiki adalah kemampuan perekonomian yang terus meningkat untuk membiayai dirinya sendiri dan mampu memproduksi lebih besar dari pada mengkomsumsi. Keadaan inilah yang menjamin landasan kokoh bagi perekonomian untuk terus tumbuh dan berkembang sehat selalu.



2.             Mengungkap pokok permasalahan
Sektor moneter tidak pernah, dan tidak akan pernah lepas kaitannya dengan sektor real, karena bagaimanapun keberadaan sektor moneter dengan segala perangkat kebijakan dan berbagai lembaga keuangan yang menopangnya tidak bisa berdiri sendiri. Jika dalam kenyataannya memang kedua sektor itu telah mengalami lepas kaitan, maka umat manusia tinggal menunggu kehancuran peradaban atau paling tidak terjebak  hidup dalam kegemerlapan artificial dengan segala konsekuensinya. Maka dari itu, jika umat manusia ingin terhindar dari malapetaka yang maha dahsyat itu, maka mau tidak mau kita sudah mulai harus sungguh-sungguh mengupayakan suatu tatanan baru yang kembali menempatkan sektor finansial pada fungsi hakikatnya.
Pemikiran Mahathir adalah suatu tawaran kepada masyarakat dunia untuk benar-benar menciptakan tatanan ekonomi yang lebih sehat, tentu saja gagasan bagi terbentuknya tatanan baru itu butuh waktu dan memerlukan pengkajian yang seksama. Yang paling penting adalah kesadaran akan rapuhnya sistem yang berlaku sekarang dan kita bertekad untuk mencari sistem alternatif.
Barangkali, banyak menganggap pemikiran di atas sangat radikal. Namun yang disampaikan tidak lebih dari tawaran melihat permasalahan lebih keakarnya dengan persektif penegakan harkat dan martabat umat manusia. Pemikiran yang ”radikal”. Kita tidak perlu  berpretensi bahwa segalanya akan berubah drastis. Paling tidak kalau kita sepakat dengan cara pandang yang ditawarkan, kita akan lebih memiliki pegangan dalam mengarungi masa depan.
Paling tidak, sektor real yang sehat dapat meredam gejolak financial dan perilaku tidak produktif atau artificial, dengan begitu kebijakan moneter dan keberadaan pemerintah bisa diarahkan dengan lebih efektif untuk meredam fluktuasi tajam didalam perekonomian. Pemerintahan bisa lebih menitikberatkan pada pungsi monitoring yang efektif atas arus financial yang masuk dan keluar, sehingga pada akhirnya mengurangi tindakan coba-coba. Apapun yang dilakukan sepatutnya mengacu pada prinsip bagi kesejahteraan rakyak dan keadilan. Kita berbenah bukannya sekedar untuk menghadapi era globalisasi atau AFTA tahun 2002. Kita  melakukan privatisasi dengan menjual saham BUMN bukan dalam rangka mencari dana untuk membayar utang, tetapi seharusnya untuk membuat BUMN itu lebih efisien, kedaulatan rakyat harus ditegakkan.

B.      PENDALAMAN KRISIS ,KEGAGALAN PEMERINTAH MEMAHAMI SINYAL

1.       Keterlibatan IMF
Keberadaan IMF yang disertai oleh tim bank dunia dan bank pembangunan Asia semakin memperkuat konstalasi ini. IMF akan mengevaluasi usulan pemerintah. Boleh jadi, IMF memandang usulan pemerintah belum memadai, lalu menyarankan langkah-langkah tambahan agar pemulihan ekonomi bisa lebih terjamin, khususnya pemulihan kepercayaan investor asing.
Pemerintah Indonesia sepatutnya memanfaatkan momentum yang terbuka luas ini untuk melakukan pembenahan mendasar, tidak setengah hati lagi seperti dimasa-masa lalu. Harga yang harus dibayar memang sangat mahal. Juga sekaligus bisa dijadikan momentum bagi terjadinya seleksi alamiah untuk menghasilkan pengusaha-pengusaha yang tangguh dan teruji yang mampu keluar dari kemelut.
Ditengah tersendatnya perundingan pemberian bantuan program yang bersifat perundingan pemberian bantuan program yang bersifat formal (program and formal assistance) dari IMF, Indonesia dibanjiri oleh komitmen bantuan dana dari negara-negara tetangga. Keterlibatan negara sahabat bukan substitusi dari paket bantuan IMF. Antusiasme negara-negara tetangga membantu Indonesia patut disambut tanpa prasangka negatif.

2.             Rezim Sentralistik Menumpulkan Upaya Penyelesaian
Pelajaran yang bisa ditarik dari krisis ekonomi dewasa ini sangatlah jelas sebagai berikut:
1.    perlu pembenahan manejemen pembangunan dan pemerintahan. Misalnya, kerapuan stuktur pembayaran Indonesia hanya difokuskan pada satu sisi permasalahan sebagaimana tercermin dari dibentuknya Tim Peningkatan Ekspor (TPE).
2.    yang tidak kalah berharganya adalah reformasi adalah system pengambilan keputusan. Persoalan ini, tentu saja berkaitan erat dengan menejemen pembangunan dan pemerintahan. Penanganan krisis nilai tukar rupiah menjadi salah satu indikasi betapa mendesatnya pembenahan proses pengambilan keputusan.
3.    diperlukan pengembangan kelembagaan yang menopang peningkatan dinamika perekonomian yang semakin sehat sehinnga bisa menekan transaksi (transaction cost). Keberhasilan menekan biaya transaksi akan memperkokoh keunggulan komparatif bangsa, yang paling gilirannya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
3.             Krisis Moneter Menjadi Krisis Multidimensional
Keselurahan aspek diatas bertemu pada saat yang bersamaan tatkala sistem politik pun sudah hampir menuju kebangkrutan. Hampir semua pihak sepakat bahwa persoalan bukan semata-mata krisis ekonomi, tetapi sudah bercampur dengan  krisis politik. Agenda perubahan harus dibentang dengan kendali harus pada rakyak itu sendiri. Maka, reformasi harus diawali dengan penghapusan segala praktik yang membelenggu rakyak sehingga mereka tidak bisa menguatkan potensi yang ada pada genggaman mereka.
IMF sangat mengetahuinya bahwa sejauh ini Indonesia tidak memiliki undang-undang yang mengatur monopoli, oligopoli, praktik kartel ,dan kolusi, serta yang menjamin persaingan atau perdagangan sehat, betapa teganya IMF menjerembabkan Indonesia kealam persaingan liar yang tidak mengenal lagi perbedaan.
Tetapi, IMF  tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena pada akhirnya semua bergantung pada kita untuk mengimbangi liberalisasi total dengan serangkaian langkah penciptaan jaring-jaring pengaman.
Masih banyak lagi tindakan-tindakan pemerintah yang akrobatik, bahkan tatkala perundingan sedang berlangsung, yang membuat bukan saja IMF tetapi juga masyarakat semakin kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Cara penanganan pemerintah yang semrawut selama ini telah mengakibatkan beban biaya yang teramat mahal. Indikator yang paling nyata adalah target pertumbuhan yang semakin merosot. Setelah perundingan pertama dengan IMF Oktober 1997, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pasar sebesar 4% tatkala presiden  menyampaikan rancangan APBN 1998/1999 awal januari 1998. Karena pemerintah melanggar kesepakatan, maka IMF mengoreksinya menjadi 0%, sebagaimana tertuang didalam letter of intent 15 Januari 1998.
Bentuk monopoli pada umumnya dibanyak negara diberi toleransi adalah monopoli alamiah (natural monopoly) bentuk monopoli demikian tejadi pada usaha infrastuktur seperti listrik, air bersih, dan telepon. Monopoli alimiah muncul sebagai konsikuensi dari tuntutan skala produksi yang amat besar untuk mencapai biaya produksi rata-rata yang serendah-serendahnya. Kekuatan monopoli juga akan terkikis sejalan dengan liberisasi perdagangan, karena itu harus berhadapan dengan pesaing-pesaing luar negeri.
Hancurnya kredibilitas pemerintah beriringan dengan memburuknya serba ketidakpastian, menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang kemudian terjadi, tidak hanya pudarnya kepercayaan masyakarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya melainkan juga antara kalangan luar negeri dengan pemerintah serta diantara sesama kelompok masyarakat.
Penanganan krisis yang serba tidak jelas dan keengganan mengakui dari sumber persoalan sebagai akibat semakin koroposnya rezim otoriter birokratis orde baru yang menghasilkan Soeharto  Style State Assited Capitalism membuat momentum bagi pemulihan ekonomin nyaris sirna. Sebagai suatu bangsa seharusnya kita malu dengan penegasan IMF yang terus memperketat pengawasan atas pelaksanaan reformasi yang telah disepakati bersama.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terima kasih,sangat membantu saya dalam mengerjakan tugas

Posting Komentar

sponsor