Sepenggal cerita, sedikit kisah, apa yang kulihat, yang semua tak terbendung hanya sampai di otak --- Selamat datang di blog pribadi Hendra Deni Saputra Naibaho

article terbaru

Sabtu, 24 Desember 2011

Pemimpi dan Pemimpin

[dikutip dari BULETIN BUMN - Kementrian BUMN]

Pernahkah kita membayangkan perbedaan kedua kata dimaksud? Kalau
dilihat dari sisi penulisan, pasti tidak akan banyak bedanya, hanya huruf
“n” di akhir katanya.

IQ di atas 120 hanya 10% dari populasi, IQ di atas 115 sekitar 15% dan sisanya yang mayoritas
85% memiliki IQ di bawah itu. Oleh karena itu, apabila fokus sistem pendidikan berorientasi pada
akademis, 85% siswa pasti tak bisa mengikuti.

Sistem pendidikan di Indonesia yang berorientasi akademis, seharusnya hanya tepat bagi 15%
populasi, sedangkan yang tidak bisa mengikuti lebih banyak (85%). Kondisi ini mau tidak mau
akan melahirkan generasi pemimpi. Populasi yang 85%, meski terus mengikuti sistem ini, akan
tetapi mereka sebenarnya tidak akan dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Hal ini
akan menjadikan kendala bagi Bangsa Indonesia.

Fenomena bahwa lulusan sarjana (S1) pasti akan meminta kompensasi dan jabatan lebih tinggi serta
pekerjaan yang lebih nyaman daripada lulusan SMA atau D3, saat ini dapat kita lihat dengan jelas.
Tuntutan ini akan terus meningkat sejalan dengan semakin tinggi tingkat sekolahnya S2 dan S3.
Yang menjadi masalah adalah hanya 15% populasi yang benar-benar memiliki keluaran kompetensi
yang diharapkan dengan sistem pendidikan dimaksud, sedangkan sisanya yang 85% meski lulus,
tetapi sebenarnya tidak memiliki hal tersebut.
Akhirnya banyak dijumpai seseorang dengan gelar
S1, S2, atau S3 tidak menunjukkan kompetensinya sebagai seorang pemimpin atau pemikir dalam
bidang pekerjaannya. Pada akhirnya, diakui atau tidak, hal ini memberikan beban tersendiri bagi
organisasi. Jangankan untuk berpikir bagi sebuah pengembangan organisasi di masa mendatang,
untuk membaca sebuah artikel pun kemungkinan akan sulit mencerna dan mensintesanya.
Inilah kelemahan sistem pendidikan di Indonesia, yang menurut dr. Ratna seharusnya diperbaiki dan
diharapkan akan lebih kepada pengembangan karakter seseorang untuk menjadi pekerja unggul.
Biarkan yang memang mampu secara kognitif (15% populasi) yang dididik sebagai pemimpin dan
pemikir, sedangkan yang mayoritas (85% populasi) dididik sebagai pekerja unggul. Apabila semua
dididik dengan fokus kognitif, padahal sebenarnya tidak mampu, mereka akan merasa bisa dan
justru akhirnya mementahkan ide-ide pemikiran baru yang dicetuskan oleh pemikir dan akhirnya
mengganggu jalannya organisasi.

Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya terdapat 2 (dua) item penting yang dapat disimpulkan yaitu
pertama, sistem pendidikan di Indonesia perlu diperbaiki sehingga dapat mendukung pembentukan
pekerja unggul bagi mayoritas populasi daripada fokus pada optimalisasi kognitif yang hanya tepat
bagi 15% populasi. Kedua, bahwa tidak semua pekerja dalam suatu organisasi dapat berperan
sebagai pemimpin atau pemikir, mengingat hanya 15% populasi yang memiliki kemampuan
kognitif di atas rata-rata. Meski demikian, tidaklah berarti bahwa yang tidak sebagai pemimpin
tidak memiliki nilai atau kontribusi. Justru seorang pengikut dapat berperan dan bekerja sebagai
seorang pekerja unggul dengan mewujudkan visi dan arah yang telah dicanangkan pemimpin agar
dapat terlaksana dengan efisien dan efektif. Ini merupakan hubungan simbiosis mutualisme dan
dalam kerangka perwujudan sinergi dalam pencapaian tujuan bersama.
Pembagian peran antara pemimpin dan bawahan, dalam agama Islam juga dapat dilihat
perwujudannya dalam shalat berjamaah. Tidak semua orang berperan sebagai imam. Hanya satu
orang menjadi imam dan yang lainnya bertindak sebagai makmum. Tugas imam adalah membimbing
dan memimpin jalannya shalat, sedangkan makmum mengikuti. Biarkan imam memimpin sampai
dengan selesainya shalat dan apabila ada kesalahan di tengah pelaksanaan shalat, makmum
memiliki kewajiban mengingatkan dengan tata cara yang santun dan baik. Apabila imam telah
berkata “waladhdholliin”, maka makmum secara bersama-sama akan segera berkata “aamiin”.
Tidak ada satu pun makmum yang menjawab lain dari kata “aamiin” dimaksud. Itulah contohnya
cara hubungan pemimpin dan yang dipimpin.
Pilihannya sebenarnya adalah jadilah seorang pemimpin apabila memang kompetensinya dimiliki
dan apabila tidak, jadilah pekerja yang unggul. Yang patut dihindari, janganlah pernah menjadi
seorang pemimpi, bertindak dan menuntut agar diperlakukan sebagai seorang pemimpin, namun
sebenarnya tidak memiliki kompetensinya.

Fadjar Judisiawan, Kabid Riset dan Penyajian Informasi

0 komentar:

Posting Komentar

sponsor